Jumat, 30 Desember 2011

Penderitaan Ayah



                Di pagi yang mendung. Sesosok laki-laki berumur 45 tahun keluar dari rumah gubuknya dan meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil berumur 4 tahun. Dengan  gagahnya iya yang bekerja sebagai penjual lemari anak-anak itu mengangkat lemari dagangannya itu dan menaruhnya digerobak untuk di jual ke warga. Ia melihat istrinya tersenyum seakan menambah semangatnya. Ia pun kembali melangkah dengan tersenyum.
                Seluarga ini terbilang miskin karena sang ayah hanya seorang penjual lemari keliling dan sang ibu hanya merawat anaknya yang sakit dirumah. Karena tidak mempunyai uang untuk berobat jadi anaknya dirawat sendiri dirumah. Sudah 4 hari sang anak sakit demam tetapi tak kunjung reda demam tersebut. Sore hari sang ayah pulang dengan lemari yang belum terjual, lalu sang ayah dengan berat hati meminjam uang kepada tetangganya untuk ke sekian kalinya untuk membeli makan untuk istri dan anaknya. Sang ayah tersenyum melihat anak dan istrinya makan dengan lahap tanpa mempedulikan dirinya yang lelah dan belum makan sama sekali dari pagi.
                Sore itu sang anak panasnya semakin meninggi, dan mulai mengigau yang membuat takut sang ayah. Sampai akhirnya sang ayah memaksakan untuk membawa sang anak ke klinik. Setelah masuk ruang perawatan sang ayah diminta untuk membayar biaya pengobatan sang anak yang harus dipenuhi paling tidak sampai esok hari. Akhirnya sang ayah kembali kerumah dan mendorong gerobak yang berisikan lemarinya tersebut dengan harapan dapat mendapat pembeli dan mendapat uang untuk mengobati anaknya. Sang ayah terus mendorong gerobaknya sampai tengah malam. Keluar masuk kampung dan perumahan. Gerimis pun mulai turun tetapi tidak ada pelanggan pun yang ingin membeli lemari dagangannya tersebut.
                Sampai jam 3 pagi belum mendapat apa-apa sang ayah kembali ke klinik untuk mendapat keringanan waktu lagi. Tetapi sampai di sana sang ayah melihat ibu menangis, dihampirinya. Ibu memeluk dan menangis lebih keras. Karena sang anak sudah meninggal karena terlalu lama dibiarkan sakit.
                Sang ayah hanya diam mematung karena tidak memercayai apa yang terjadi. Serasa hatinya telah hancur dan tidak dapat lagi ia ungkapkan apa yang iya rasakan. Sang ayah menghampiri sang anak dan memeluk erat seakan tidak ingin membiarkan Tuhan mengambilnya.
Selang hari berlalu setelah  pemakaman anaknya. Sang ayah kembali berangkat mencoba mencari pembeli meninggalkan istrinya yang sakit karena shock yang dialaminya tentang anaknya tersebut. Baru 3 langkah sang ayah melangkah pergi lalu terdengar suara ibu terjatuh. Ayah menghampiri ibu dan kembali mematung karena istrinya telah meninggal karena tidak kuat dengan kehilangan anaknya tempo lalu.
Ayah kembali harus kuat untuk melihat pemakaman orang yang sangat dicintainya. Dan mencoba tegar dengan apa yang terjadi.
Pagi berikutnya setelah kejadian tersebut sang ayah kembali mendorong gerobaknya tetapi kali ini dengan langkah lemah dan gontai. Setiap langkahnya berisi penderitaan. Beban yang didorongnya semakin berat. Tak seperti biasanya. Kegagahannya lumpuh sudah.
Ayah terjatuh dan menangis. Ia memejamkan mata dan berkata serasa berbicara kepada istri dan anaknya.
“Kemiskinan ini tidak pernah membuat ayah menderita. Begitu pula dengan pekerjaan dan rasa lapar ini. Ayah tidak pernah merasa menderita. Tetapi, sangat menderitakan untuk ayah jika harus sampai dirumah tersadar jika kalian sudah tidak ada”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar