Nama : Rizky Ardiyanto
NPM : 16211369
NPM : 16211369
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan,pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, melainkan juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya.
Ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan
dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan
kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan
lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang
mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi
berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada
beberapa negara mengenai lingkungan
hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali
dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya
peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan
perusahaammanajemen investasi telah mulai
memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan
investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial"
(socially responsible investing).
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan
sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang
dilakukan oleh Habitat for Humanity atauRonald McDonald House),
namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR.
Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas,
pemberian beasiswa dan
pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong
para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer)
dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad
baik di mata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi
perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama
triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan
berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas
dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai
peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui
berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR bukanlah
sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam
pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat
terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk
lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan
antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan
pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
"dunia bisnis,
selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa
di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus
mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap keputusan yang
dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung
jawab tersebut.
Sebuah definisi yang luas oleh World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu
suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara
khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable
development) yang menyatakan bahwa:
" CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh
dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari
komunitas setempat atau pun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf
hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".
Pelaporan dan
pemeriksaan
Untuk menunjukkan bahwa perusahaan adalah warga dunia
bisnis yang baik maka perusahaan dapat membuat pelaporan atas dilaksanakannya
beberapa standar CSR termasuk dalam hal:
- Akuntabilitas atas standar AA1000 berdasarkan
laporan sesuai standar John Elkington yaitu
laporan yang menggunakan dasar triple
bottom line (3BL)
- Global
Reporting Initiative, yang mungkin merupakan acuan laporan
berkelanjutan yang paling banyak digunakan sebagai standar saat ini.
- Verite, acuan
pemantauan
- Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial
internasional SA8000
- Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara
dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas
ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial.
Smentara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih mudah
diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna
memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi
perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi
nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut
sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun
dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini
hanyalah sekadar "pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja
pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga
perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan
metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah
peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan
keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di
mata para pemangku kepentingannya.
Alasan terkait
bisnis (business case) untuk CSR
Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu
organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak
pihak berpendapat bahwa amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun
sesungguhnya cukup banyak literatur yang memuat tentang cara mengukurnya.
Literatur tersebut misalnya metode "Empat belas poin balanced scorecard oleh Deming. Literatur lain
misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes yang menemukan suatu korelasi positif
walaupun lemah antara kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja
keuangan perusahaan. Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate
social performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate
financial performance) memang menunjukkan kecenderungan positif, namun
kesepakatan mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin,
kesepakatan para pemangku kepentingan global yang mendefinisikan berbagai
subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 Guidance on Social
Responsibility--direncanakan terbit pada September 2010--akan lebih memudahkan
perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek inti dalam standar
tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.
Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999)
yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New
York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) di antara 25.000
responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang
perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan,
dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra
perusahaan & brand image-lah yang akan paling memengaruhi kesan
mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental
seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau
manajemen.
Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang
dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin "menghukum" (40%) dan 50%
tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara
kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.[4]
Secara umum, alasan
terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari
argumentasi di bawah ini:
Sumberdaya manusia
Program CSR dapat berwujud rekruitmen tenaga kerja dan
mempekerjakan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk
menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan, terutama sekali dengan adanya
persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan kemungkinan
untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan
merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan
lingkungan. Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial
dan lingkungan, perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki
nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk suatu atmosfer
kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan
dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi
masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji",
"penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering)
dalam bekerja untuk masyarakat.
Manajemen risiko
Manajemen risiko merupakan salah satu hal
paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi yang
dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap
melalui insiden seperti skandal korupsi atau
tuduhan melakukan perusakan lingkungan
hidup. Kejadian-kejadian seperti itu dapat menarik perhatian yang
tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media massa.
Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan benar",
baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun
lingkungan--yang semuanya merupakan komponen CSR--pada perusahaan dapat
mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif tersebut.
Membedakan merek
Di tengah hiruk pikuknya pasar maka perusahaan berupaya
keras untuk membuat suatu cara penjualan yang unik sehingga dapat membedakan
produknya dari para pesaingnya di benak konsumen. CSR dapat berperan untuk
menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus dari etika perusahaan
yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat. Menurut Philip Kotler dan
Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan
keuntungan terhadap merek, yaitu corporate social marketing (CSM)
dancause related marketing (CRM). Pada CSM, perusahaan memilih satu
atau beberapa isu--biasanya yang terkait dengan produknya--yang bisa disokong
penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui media campaign.
Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama kelamaan konsumen akan
mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian pada
isu itu. Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan melakukan pembelian
produk perusahaan itu dengan pertimbangan kesamaan perhatian atas isu tersebut.
CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan akan menyumbangkan sejumlah
dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah sosial atau lingkungan dengan
mengaitkannya dengan hasil penjualan produk tertentu atau keuntungan yang
mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per produk terjual atau
proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan. Dengan demikian, segmen
konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah sosial dan atau
lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka merasa bisa berbelanja
sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan CSM dan CRM-nya
dengan baik akan mendapati produknya lebih banyak dibeli orang, selain juga
mendapatkan citra sebagai perusahaan yang peduli pada isu tertentu.
Ijin usaha
Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan
dalam usahanya melalui perpajakan atau peraturan. Dengan melakukan sesuatu
'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat meyakinkan pemerintah
dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam memperhatikan masalah
kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan
demikian mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha di
luar negara asalnya dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku
warga perusahaan yang baik dengan memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan
akibat terhadap lingkungan hidup, sehingga dengan demikian keuntungan yang
menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat tinggi tidak dipersoalkan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar